Menata Kembali Desain Otonomi Daerah Berdasarkan Hak Asal Usul Masyarakat Adat
Oleh: Khoiri Rujungan
Sejalan dengan peringatan hari Otonomi Daerah ke-XXVII yang jatuh pada 25 April lalu, serta dalam rangka memperingati hari kebangkitan nasional pada 20 Mei 2023, sebagai warganegara Indonesia tentunya perlu menyampaikan gagasan agar kiranya Pemerintah dapat melakukan penataan sistem otonomi daerah yang selaras dengan perkembangan zaman, serta tetap mengedepankan aspek sosial, sejarah, adat, seni dan budaya yang hidup dan berkembang dalam kearifan masyarakat lokal (living law).
Mengapa otonomi daerah perlu dilakukan penataan, tentunya berangkat dari adanya penjelasan Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945 bahwa; *Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat +/- 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minang Kabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.* Sedangkan untuk peristilahan Marga terdapat dalam kehidupan masyarakat adat Palembang, Batak dan Lampung. Khusus untuk Daerah Lampung, kedudukan Pasirah-pasirah Marga telah dihapus dan diganti dengan peristilahan Negeri yang seharusnya berlaku pada masyarkat daerah Minang Kabau. Adapun penghapusan sistem Pemerintahan Adat Marga di Lampung dilakukan secara bertahap, dengan dilandasi pada keputusan Badan Pekerja DPRD Kresidenan Lampung tanggal 27 Oktober 1948 dan tanggal 3 – 4 November 1948, hingga menjadi ketetapan Residen Lampung tanggal 3 September 1952, nomor: 153/D/1952. Akibatnya sistem Pemerintahan Adat Marga pada masyarakat Adat Lampung Pepadun maupun Saibatin kehilangan eksistensi politiknya guna mengatur dan mengurus seluruh hak-hak tritorial, berikut hak dan kewajiban masyarakat adatnya.
Selayaknya, otonomi Daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dilain sisi tujuan pemberian Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat. Akan tetapi kondisinya semakin jauh panggang dari api. Mengingat suatu daerah otonom selayaknya dapat mengurus rumah tangga daerahnya, guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, dengan cara menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah guna mendukung gerak laju pembangunan diberbagai bidang. Sehingga pemberian otonomi daerah dapat benar-benar dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat secara luas.
Rentetan dinamika yang ada dalam suatu daerah otonom akhir-akhir ini memberikan tanda tanya terhadap jalannya sistem otonomi itu sendiri. Hal ini memperkuat dugaan adanya sistem korporasi yang turut campur mengatur daerah otonom diluar kendali Pemerintah Daerah, sehingga ada kesan putusnya hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Hal ini terlihat adanya konsep pembangunan yang tidak terarah menjadi alasan mengapa otonomi daerah tidak berjalan secara efektif. Bahkan mungkin juga disebabkan oleh karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah, yang terkadang tidak selaras dengan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana yang telah dituangkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang sangat urgent untuk melakukan penataan kembali desain otonomi dimasing-masing daerah di seluruh Indonesia yang tentunya berdasarkan hak-hak asal usul Masyarakat Adat, terkhusus di daerah Lampung yang sejak dahulu menggunakan sistem Pemerintahan Adat Marga sebagai warisan budaya sebelum masuknya pengaruh agama Hindu ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan adanya Laporan Penelitian Arkeologi 2012, Pusat Peradaban di Kabupaten Lampung Utara Perkembangan Hunian dan Budaya, pada halaman 159 menuangkan bahwa “di daerah Lampung tidak pernah ditemukan bukti-bukti arkeologis yang menunjukan bahwa pernah hadir suatu kekuatan politik berupa Kerajaan yang ada hanyalah sistim organisasi yang dikenal sebagai sistim pemerintahan adat marga”. Selain itu dalam literatur Departemen kebudayaan dan Pariwisata Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional tahun 2007, pada halaman 24, dijelaskan bahwa “masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Budha) sudah mengenal semacam pemerintahan Demokrasi”.
Atas dasar uraian tersebut diatas, kembali perlu kami sampaikan agar kedepan, sesuai dengan bunyi Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 bahwa “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Oleh karena itu Pemerintah Pusat kiranya dapat
melakukan penataan ulang terhadap desain otonomi daerah dengan tetap mempertimbangkan agar masyarakat adat dapat terlibat secara aktif dalam menentukan arah kebijakan pembangunan daerah. Sehingga masyarakat adat tidak merasa termarjinalkan dalam upaya melestarikan nilai dan norma adat sebagai warisan leluhur bangsa berdasarkan ideologi Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Sumpah Indonesia Raya sejak tahun 683 (Sriwijaya), 1331 (Majapahit),1928 (Sumpah Pemuda), hingga lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila.
Akhirnya, sebagai penutup dan sekaligus merupakan rangkuman dari catatan ini, kami mengutip sebuah kata-kata yang pernah diucapkan oleh salah satu tokoh pendiri bangsa (Mohammad Yamin) bahwa “cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri”.
Tabik pun nabik tabik,
Jamow metei segalow.
Katu wat salah cawow,
Ekam ngappun ngalin purow.